Google Search

Friday, February 17, 2017

Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an



Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.

1.       Hubungan Pusat-Daerah

Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya.
Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara pusat dengan daerah kurang harmonis.
Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
1)       Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
2)       Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
3)       Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
4)       Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis.
Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.

2.       Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis

Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa silih berganti. Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut.

a.         Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)

Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.

b.         Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)

Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.

c.         Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)

Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah.
Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.

d.        Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)

Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak dapat menjalankan programnya.
Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata  tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.

3.       Pergolakan Sosial Politik

Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan pusat tidak memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah. Beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah terbukti tampilnya perebutan kekuasaan di daerah oleh pihak militer. Menurut pandangan mereka pemerintah pusat tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menyelesaikan sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan pusat ini nantinya akan berakibat munculnya pemberontakan di daerah-daerah.
Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956. Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.”
Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.

a.         Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan.
Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan.
Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.

b.         Pemberontakan Andi Azis

Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1)       Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2)       Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3)       Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1)       Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2)       Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian.
Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.

c.         Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi  di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah.
Setelah kota Ambon jatuh ke tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.

d.          Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)

Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri. Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang, Sumatera Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek.
Pada tanggal 15 Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRRI ini selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat bantuan dari seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope.
Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang dilaksanakan antara lain:
1)       Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2)       Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3)       Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4)       Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi himbauan pemerintah Indonesia.

Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil 

No comments:

Post a Comment