Pada waktu
bangsa Indonesia sedang berjuang melawan Belanda dengan perjuangan bersenjata
maupun diplomasi setelah kemerdekaan, bangsa kita harus menghadapi
pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1948 ini
merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang berjuang
melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
Para pemimpin
pemberontakan ini di antaranya adalah Amir Syarifuddin dan Musso. Amir
Syarifudin adalah mantan Perdana Menteri dan menandatangani Perjanjian Renville.
Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front Demokrasi
Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan pemberontakan di Madiun.
Sedangkan
Musso adalah Tokoh PKI yang pernah gagal melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926. Setelah gagal ia melarikan diri ke luar
negeri. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia bergabung dengan Amir Syarifuddin
untuk mengadakan propagandapropaganda anti pemerintah di bawah pimpinan
Sukarno-Hatta.
Front
Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda
Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain:
1)
melancarkan
propaganda anti pemerintah,
2)
mengadakan
pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik
karung di Delanggu Klaten.
3)
melakukan
pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2 Juli
1948, Komandan Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada
tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945, Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.
Aksi
pengacauan di Solo yang dilakukan PKI ini selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya
pada tanggal 18 September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya
seperti Blora, Rembang, Pati, Kudus, Purwadadi, Ponorogo, dan Trenggalek. PKI
mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia.” Setelah menguasai Madiun
para pemberontak melakukan penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran.
Pejabat-pejabat pemerintah, para perwira TNI dan polisi, pemimpinpemimpin partai,
para ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat banyak yang menjadi korban keganasan
PKI. Pemberontakan PKI di Madiun ini bertujuan meruntuhkan pemerintah RI yang
berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang akan diganti dengan pemerintahan
yang berdasar paham komunis.
Kekejaman PKI
ketika melakukan pemberontakan pada tanggal 18 September 1948 tersebut
mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh karena itu pemerintah bersama rakyat
segera mengambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak.
Dalam usaha
mengatasi keadaan, Pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur
Militer Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, yang meliputi Semarang, Pati,
dan Madiun. Panglima Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada Kolonel
Gatot Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Soengkono di Jawa Timur agar
mengerahkan kekuatan kekuatan TNI dan polisi untuk menumpas kaum pemberontak.
Karena Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit maka pimpinan operasi
penumpasan diserahkan kepada Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar
Komando Jawa(MBKD).
Walaupun dalam
operasi penumpasan PKI Madiun ini menghadapi kesulitan karena sebagian besar
pasukan TNI menjaga garis demarkasi menghadapi Belanda, dengan menggunakan dua
brigade kesatuan cadangan umum Divisi III Siliwangi dan brigade Surachmad dari
Jawa Timur serta kesatuan-kesatuan lainnya yang setia kepada negara Indonesia
maka pemberontak dapat ditumpas.
Pada tanggal
30 September 1948 seluruh kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Musso
yang melarikan diri ke luar kota dapat dikejar dan ditembak TNI. Sedangkan Amir
Syarifuddin tertangkap di hutan Ngrambe, Grobogan, daerah Puwadadi dan dihukum
mati. Akhirnya pemberontakan PKI di Madiun dapat dipadamkan meskipun banyak
memakan korban dan melemahkan kekuatan pertahanan RI.
No comments:
Post a Comment