Tantangan yang
dihadapi NKRI ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis
ekonomi nasional merupakan peluang paham komunis untuk berkembang. Prinsip
Nasakom yang dilaksanakan pada waktu itu memberi keempatan kepada PKI dan
organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Melihat kondisi ekonomi
yang memprihatinkan serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada
awal tahun 1960-an maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan
pemberontakan.
Sebelum
melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar mendapat dukungan
yang luas di antaranya sebagai berikut.
1)
PKI menyatakan
dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan
gaji dan upah buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya.
2)
Pada akhir
tahun 1963 PKI melakukan “Aksi Sepihak” terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera
Utara.
3)
PKI juga
mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil,
pegawai rendahan baik sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa,
dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.
4)
Pengaruh PKI yang
besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah.
Misalnya, semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah.
Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi para seniman dibubarkan
pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu
lebih condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking.
5)
Memasuki tahun
1965 PKI melempar desas-desus adanya “Dewan Jenderal” dari dalam tubuh Angkatan
Darat. Menurut PKI bahwa Dewan Jenderal ini akan mengambil alih kekuasaan
secara paksa dengan bantuan Amerika Serikat. Tuduhan ini dibantah oleh Angkatan
Darat, sebaliknya PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan.
Puncak
ketegangan politik terjadi secara nasional pada dini hari tanggal 30 September
1965 atau awal tanggal 1 Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan
pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat. Penculikan ini dilakukan oleh
sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi
ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa.
Para pimpinan TNI AD yang diculik dan dibunuh oleh kelompok G 30 S/ PKI
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan
Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor
Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor
Jenderal Haryono MT.
d. Mayor
Jenderal S. Parman.
e. Brigadir
Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir
Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
g. Letnan Satu
Pierre Andreas Tendean.
Dalam peristiwa
tersebut Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri
Kompartemen Hankam/ Kepala Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari
pembunuhan akan tetapi putri beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan
para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution
juga tewas dalam peristiwa tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun,
pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan
PKI.
Peristiwa
pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya
dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan Letnan Kolonel
Sugiyono.
Pada hari Jum’at
pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “ telah menguasai dua buah
sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat, Jakarta
dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi itu
pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang Gerakan
30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal-
jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.
Dengan pengumuman ini maka masyarakat menjadi bingung.
Menghadapi
situasi politik yang panas tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim
Perdanakusumah, dan segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia
tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa. Mayor Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum
adanya kepastian mengenai Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri
Panglima Angakatan Darat.
Dengan
menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo, panglima
Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September.
Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.
1)
Pada tanggal 1
Oktober 1965 operasi untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar
pukul 19.00. Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan.
Selanjutnya Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan
lewat RRI yang isinya sebagai berikut.
a)
Adanya usaha
usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
b)
Telah
diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
c)
Presiden dan
Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
d)
Kepada rakyat
dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.
2)
Menjelang sore
hari pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD
yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang.
Operasi ini berhasil menguasai beberapa tempat penting dapat mengambil alih
beberapa daerah termasuk daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang
menjadi pusat kegiatan Gerakan 30 September.
3)
Dalam operasi
pembersihan di kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober1965, atas petunjuk
seorang anggota polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur
tua tempat jenazah para perwira Angkatan Darat dikuburkan. Mereka yang menjadi
korban kebiadaban PKI tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan revolusi.
Ketika gerakan
30 September ini menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota
angkatan bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30
September termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit segera melarikan diri. Dengan
demikian masyarakat semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang
sebenarnya melakukan pengkhianatan terhadap negara ini.
No comments:
Post a Comment